Sabtu, 21 Mei 2011

sejarah pertumbuhan dan perkembangan ulumul Quran


Istilah Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata “ulum” adalah bentuk jamak dari kata “ilm” yang berarti ilmu-ilmu. “Al-Qur’an” adalah Kitab Suci umat Islam yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW. Untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia. Ungkapan Ulumul Qur’an telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu dalam kajian Islam. Secara bahasa, ungkapan ini berarti ilmu-ilmu Al-Qur’an. Kata “ulum” yang disandarkan pada kata “Al-Qur’an” telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahamannya terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Dalam mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an seperti ilmu tafsir, ilmu qira’at,  ilmu rasmil Qur’an, ilmu i’jazil Qur’an, ilmu asbabin nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan ulumul Qur’an mempunyai sejarah perkembangannya masing-masing, maka dari itu disamping kita mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an, kita juga dituntut untuk mempelajari sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur’an tersebut. Untuk melengkapi pengetahuan kita tentang Ulumul Qur’an maka pembahasan di bawah ini penulis akan membahas tentang “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Qur’an”.
 2.1        Keadaan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Pada Abad I dan II H
         Pada masa Nabi dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ilmu-ilmu Al-Qur’an belum dibukukan, karena umat Islam belum memerlukannya. Sebab umat Islam pada waktu itu adalah para sahabat Nabi yang sebagian besar terdiri dari bangsa Arab Asli (suku Quraisy dan sebagainya), sehingga mereka mampu memahami Al-Qur’an dengan baik, karena bahasa Al-Qur’an adalah bahasa mereka sendiri dan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu, para sahabat Nabi jarang sekali bertanya kepada Nabi tentang maksud suatu ayat.
         Pada masa pemerintahan Usman terjadi perselisihan di kalangan umat Islam mengenai bacaan Al-Qur’an, maka khalifah Usman mengambil tindakan penyeragaman tulisan Al-Qur’an demi untuk menjaga keseragaman Al-Qur’an dan untuk menjaga persatuan umat Islam. Dan tindakan Khalifah Usman tersebut merupakan perintisan bagi lahirnya suatu ilmu yang kemudian dinamai “Ilmu Rasmil Qur’an” atau “Ilmu Rasmil Usman”.
         Pada masa pemerintahan Ali makin bertambah banyak bangsa-bangsa non Arab yang masuk Islam dan mereka salah membaca Al-Qur’an, sebab mereka tidak mengerti i’rabnya (kedudukan kata-kata dalam suatu kalimat), padahal pada waktu itu tulisan Al-Qur’an belum ada harakat-harakatnya, huruf-hurufnya belum ada titik-titiknya dan tanda-tanda lainnya yang memudahkan kepada Abul Aswad Al-Duali (wafat tahun 691 H) untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab, demi untuk menjaga keselamatan bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’an. Maka tindakan khalifah Ali yang bijaksana ini dipandang sebagai perintis bagi lahirnya Ilmu Nahwu dan I’rabil Qur’an.
         Pada abad I dan II H selain Usman dan Ali, masih terdapat banyak ulama yang diakui sebagai perintis bagi lahirnya ilmu yang kemudian dinamai Ilmu Tafsir, Ilmu Asbabun Nuzul, Ilmu Makki wal Madani, Ilmu Nasikh wal Mansukh dan Ilmu Garibul Qur’an.
         Adapun tokoh-tokoh yang meletakkan batu pertama untuk lahirnya ilmu-ilmu Al-Qur’an tersebut di atas ialah:
1.      Dari kalangan Sahabat: Khalifah empat, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ari, Ibnu Al-Zubair.
2.      Dari kalangan Tabi’in: Mujahid, Atha’ bin Yasar, ‘Ikrimah, Qatadah, Al-Hasan Al-Basri, Sa’id bin Jubair, Zaid bin Aslam.
3.      Dari kalangan Tabi’ut Tabi’in: Malik bin Anas.
         Pada masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak permulaan abad II H, maka para Ulama memberikan prioritas atas penyusunan Tafsir, sebab Tafsir adalah Ummul ‘Ulum Al-Qur’aniyah (induk ilmu-ilmu Al-Qur’an).
         Di antara Ulama abad II H yang menyusun Tafsir, ialah:
1.      Syu’bah bin Al-Hajjaj (wafat tahun 160 H).
2.      Sufyan bin uyainah (wafat tahun 198 H).
3.      Waki’ bin Al-Jarrah (wafat tahun 197 H).
         Tafsir mereka dengan cara menghimpun pendapat-pendapat dari kalangan Sahabat dan Tabi’in. Kemudian Ibnu Jarir Al-Thabari (wafat tahun 310 H), menyusun Tafsir Al-Thabari dan diakui sebagai kitab tafsir yang paling besar dan paling tinggi nilainya, karena si pengarang adalah Mufasir yang pertama-tama mengemukakan pendapat-pendapat yang berbeda-beda dan menunjukkan salah satu pendapat yang dipilihnya, disertai keterangan riwayat-riwayat (sumber-sumber) yang benar dan tersusun rapi, dilengkapi penjelasan-penjelasan tentang ‘irabnya dan hukum-hukum Al-Qur’an yang dapat diistimbatkan.
         Dari perkembangan kitab-kitab tafsir sejak dimulai usaha penyusunan tafsir-tafsir Al-Qur’an pada abad II H sampai sekarang ini, maka kita dapat mengetahui bahwa di samping ada ulama yang menafsirkan Al-Qur’an dengan naqli (tafsir bin manqul), ada pula yang menafsirkannya dengan rayi/akal (tafsir bin ma’qul). Demikian pula, ada Ulama yang menafsirkan Al-Qur’an seluruhnya, ada yang menafsirkan satu juz atau satu surat atau kumpulan ayat tertentu, misalnya Ayat Ahkam dan sebagainya.
2.2        Keadaan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an pada Abad III H dan Abad IV H
         Pada abad III H selain Tafsir dan Ilmu Tafsir, pada Ulama mulai menyusun pula beberapabeberapa ilmu Al-Qur’an, ialah:
1.      Ali bin Al-Madini (wafat tahun 234 H) menyusun ilmu Asbabun Nuzul.
2.      Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam (wafat tahun 224 H) menyusun Ilmu Nasikh wal Mansukh dan Ilmu Qira’at.
3.      Muhammad bin Ayyub Al-Dhirris (wafat tahun 294 H) menyusun Ilmu Makki wal Madani.
4.      Muhammad bin Khalaf Al-Marzuban (wafat tahun 309 H) menyusun kitab Al-Hawi fi Ulumil Qur’an (27 juz).
         Pada abad IV H mulai disusun Ilmu Garibul Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Qur’an dengan memakai istilah Ulumul Qur’an. Di antara Ulama yang menyusun Ilmu Garibul Qur’an dan kitab-kitab Ulumul Qur’an pada abad IV ini, ialah:
1.      Abu Bakar Al-Sijistani (wafat tahun 330 H) menyusun Ilmu Garibul Qur’an.
2.      Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari (wafat tahun 328) menyusun kitab Ajaibu Ulumil Qur’an. Di dalam kitab ini, ia menjelaskan atas tujuh huruf, tentang penulisan Mushaf, jumlah bilangan surat-surat, ayat-ayat dan kata-kata dalam Al-Qur’an.
3.      Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat tahun 324 H) menyusun kitab Al-Mukhtazan fi Ulumil Qur’an.
4.      Abu Muhammad Al-Qassab Muhammad bin Ali Al-Karakhi (wafat tahun 360 H) menyusun kitab:
5.      Muhammad bin Ali Al-Adwafi (wafat tahun 388 H) menyusun kitab Al-Istgna’ Fi Ulumil Qur’an (20 jilid).
2.3        Keadaan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an pada Abad V dan VI H
         Pada abad V H mulai disusun Ilmu I’rabil Qur’an dalam satu kitab. DI samping itu, penulisan kitab-kitab dalam Ulumul Qur’an masih terus dilakukan oleh Ulama masa ini.
         Adapun Ulama yang berjasa dalam pengembangan Ulumul Qur’an pada abad V ini, antara lain ialah:
1.      Ali bin Ibrahim bin Sa’id Al-Khufi (wafat tahun 430 H) selain mempelopori penyusunan Ilmu I’rabil Qur’an, ia juga menyusun kitab Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an. Kitab ini selain menafsirkan Al-Qur’an seluruhnya, juga menerangkan ilmu-ilmu Al-Qur’an yang ada hubungannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan. Karena itu, ilmu-ilmu Al-Qur’an tidak tersusun secara sistematis dalam kitab ini, sebab ilmu-ilmu Al-Qur’an diuraikan secara terpencar-pencar, tidak terkumpul dalam bab-bab menurut judulnya. Namun demikian, kitab ini merupakan karya ilmiah yang besar dariseorang ulama yang telah merintis penulisan kitab tentang Ulumul Qur’an yang agak lengkap.
2.      Abu ‘Amr Al-Dani (wafat tahun 444 H) menyusun kitab Al-Tafsir Fil Qiroatis Sab’i dan kitab Al-Muhkam Fi Al-Nuqoti.
         Pada abad VI H, di samping terdapat ulama yang meneruskan pengembangan Ulumul Qur’an, juga terdapat ulama yang mulai menyusun Ilmu Mubhamatil Qur’an. Mereka itu antara lain, ialah:
1.      Abdul Qasim bin Abdurrahhman Al-Suhaili (wafat tahun 581 H) menyusun kitab tentang Mubhamatul Qur’an, menjelaskan maksud kata-kata dalam Al-Qur’an yang tidak jelas apa atau siapa yang dimaksudkan.
2.      Ibnul Jauzi (wafat tahun 597 H) kitab Fununul Afnan Fi Ajaibil Qur’an dan kitab Al-Mujtaba Fi Ulumin Tata’allaqu Bil Quran.  
2.4        Keadaan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an pada Abad VII dan VIII H
         Pada abad VII H, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an terus berkembang dengan mulai tersusunnya Ilmu Mazajul Qur’an dan tersusun pula Ilmu Qira’at. Di antara Ulama abad VII yang besar perhattiannya terdapat ilmu-ilmu Al-Qur’an, ialah:
1.      Ibnu Abdis Salam yang terkenal dengan nama Al-Izz (wafat tahun 660 H) adalah pelopor penulisan Ilmu Mazajul Qur’an dalam satu kitab.
2.      Alamuddin Al-Sakhawi (wafat tahun 643 H) menyusuun Ilmu Qira’at dalam kitabnya Jamalul Qurra ‘Wa Kamalul Iqra’.
3.      Abu Syamah (wafat tahun 655 H) menyusun kitab Al-Mur-syidul Wajiz Fi Ma Yata’allaqu bil Quran.
         Pada abad VIII H, muncullah beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang Al-Qur’an, sedang penulisan kitab-kitab tentang Ulumul Qur’an masih tetap berjalan terus. Di antara mereka ialah:
1.      Ibnu Abil Isba’ menyusun Ilmu Bada’ul Qur’an, suatu ilmu yang membahas macam-macam badi’ (keindahan bahasa dan kandungan Al-Qur’an) dalam Al-Qur’an.
2.      Ibnul Qayyim (wafat tahun 752 H) menyusun Ilmu Aqsamil Qur’an, suatu ilmu yang membahas tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam Al-Qur’an.
3.      Najmuddin Al-Thufi (716 H) menyusun Ilmu Hujajil Qur’an atau Ilmu Jadalil Qur’an, suatu ilmu yang membahas tentang bukti-bukti/dalil-dalil yang dipakai oleh Al-Qur’an untuk menetapkan sesuatu.
4.      Abul Hasan Al-Mawardi menyusun Ilmu Amtasil Qur’an, suatu ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
5.      Badruddin Al-Zarkasyi (wafat tahun 794 H) menyusun kitab Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an. Kitab ini telah diterbitkan oleh Muhammad Abul Fadl Ibrahim (4 juz).
2.5        Keadaan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an pada Abad IX dan X H
         Pada abad IX dan permulaan abad X H, makin banyak karangan-karangan yyang ditulis oleh ulama tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan pada masa ini perkembangan Ulumul Qur’an mencapai kesempurnaannya. Di anttarra ulama yang menyusun Ulumul Qur’an pada masa ini ialah:
1.      Jalaluddin Al-Bulqini (wafat tahun 824 H) menyusun kitab Mawaqi’ul Ulum Mim Mawaqi’in Nujum. Al-Bulqini ini dipandang oleh As-Suyuti sebagai ulama yang mempelopori penyusunan kitab Ulumul Qur’an yang lengkap, sebab di dalamnya telah disusun sejumlah 50 macam Ilmu Al-Qur’an.
2.      Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiyaji (wafat tahun 879 H) menyusun kitab Al-Taisir Fi Qawaidit tafsir.
3.      As-Suyuti (wafat tahun 911 H) menyusun kitab Al-Tahbir Fi Ulumit Tafsir. Penyusunan kitab ini selesai pada tahun 872 H dan merupakan kitab tentang Ulumul Qur’an yang paling lengkap karena memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Kemudian ia menyusun kitab Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an (2 juz) yang membahas sejumlah 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara sistematis dan padat isinya. Perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur’an seolah-olah telah mencapai puncaknya dan berhenti dengan berhentinya kegiatan ulama dalam mengembangkan ilmu-ilmu Al-Qur’an, dan keadaan semacam itu berjalan sejak wafatnya Imam As-Suyuti (911 H) sampai akhir abad XIII H.
2.6        Keadaan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an pada Abad XIV H
         Setelah memasuki abad XIV H ini, maka bangkit kembali perhatian Ulama menyusun kitab-kitab yang membahas Al-Qur’an dari berbagai segi dan macam Ilmu Al-Qur’an. Di antara mereka, ialah:
1.      Thahir Al-Jazairi menyusu kitab Al-Tibyan Fi Ulumil Qur’an yang selesai pada tahun 1335 H.
2.      Jamaluddin Al-Qaim (wafat tahun 1332 H) mengarang kitab Mahasinut Takwil.
3.      Muhammad Abduh Adzim Al-Zarqani menyusun kitab Manahilul Irfan Fi Ulumil Qur’an (2 jilid).
4.      Muhammad Ali Salamah mengarang kitab Manhajul Furqan Fi Ulumil Qur’an.
5.      Thanthawi Jauhari mengarang kitab Al-Jawahir Fi Tafisir Al-Qur’an dan kitan Al-Qur’an Wal Ulumul Ashriyah.
6.      Muhammad Shadiq Al-Rafi’i menyusun kitab I’jazul Qur’an.
7.      Mustafa Al-Maragi menyusun risalah tentang “boleh menerjemahkan Al-Qur’an, dan risalah ini mendapat tanggapan dari para ulama yang pada umumnya menyetujui pendapat Mustafa Al-Maragi, tetapi ada juga yang menolaknya, seperti Mustafa Shabri seorang ulama besar dari Turki yang mengarang kitab dengan judul “Risalah Tarjamati Qur’an”.    
8.      Sayyid Qutub mengarang kitab Al-Tashwirul Fanni Fil Qur’an dan kitab Fi Dzilalil Qur’an.
9.      Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengarang kitab tafsir Quranul Hakim. Kitab ini selain menafsirkan Al-Qur’an secara ilmiah, juga membahas Ulumul Qur’an.
10.  Dr. Muhammad Abdullah Darraz, mengarang kitab Al-Naba’ Al-Adzim, nadzaratun Jadidah Fil Qur’a.
11.  Malik bin Nabiy mengarang kitab Al-Dzahiratul Qur’aniyah. Kitab ini membicarakan masalah wahyu dengan pembahasan yang sangat berharga.
12.  Dr. Shubi Al-Salih, guru besar Islamic Studies dan Fiqhul Lughah pada Fakultas Adab Universitas Libanon, mengarang kitab Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Kitab ini selain membahas Ulumul Qur’an, juuga menaggapi/membantah secara ilmiah pendapat-pendapat Orientalis yang dipandang salah mengenai berbagai masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an.
13.  Muhammad Al-Mubarak, Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Syria, mengarang kitab Al-Manhalul Khalid

Tafsir tahlili


Metode tahlili adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar  penisah (munassabat) sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al-munassabat) dengan bantuan asbab An-Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Prosedur ini di lakukan dengan mengikuti susunan mushab, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang manyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi SAW sampai tabi’in, terkadang diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukkan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia.

         Para mufasir tidak seragam dalam mengoprasionalkan metode ini. Ada yang menguraikan secara ringkas dan ada pula yang menguraikan secara terperinci, Macam-macam tafsir di bawah ini menunjukkan keragaman itu:

1.    Tafsir bi Al-Ma’tsur              
2.    Tafsir bi Al-Ra’yi
3.    Tafsir Ash-Shufi
4.    Tafsir Al-Fiqhi
5.    Tafsir Al-Falsafi
6.    Tafsir Al-ilmi
7.    Tafsir Al-adabi Al-ijtimma
 Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah penjelasan Al-Qur’an sendiri dari Rasulullah SAW. yang disampaikan kepada para sahabat, dari para sahabat berdasarkan ijtihadnya, dan dari para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya.

         Tafsir bi Al-Ma’tsur melaui dua fase:
Pertama, fase periwayatan dengan lisan (syafahiyah). Pada fase ini, para sahabat menuqil riwayat penafsiran dari nabi dan menyampaikannya kepada sahabat lainnya. Para tabi’in menuqil riwayat dari para sahabat dengan metode penuqilan berupa sanad yang teliti dan saksama. Fase ini berakhir dengan datangnya fase kedua.
         kedua, fase pengodifikasian. Pada fase ini, riwayat-riwayat penafsiran yang disebarkan pada fase pertama mulai dibukukan. Sejak itu ditulislah kitab “tafsir yang memuat tafsir bi al ma’tsur. Disertakan bersama tafsir tersebut sanad yang sampai pada rasulullah SAW, sahabat, tabi’in, bi al-ma’tsur yang ada, tafsir ath-thabarilah yang paling baik sebab menuturkan banyak pendapat penafsiran lalu menyeleksinya.

         Setelah itu datanglah sekelompok mufassir yang mengodifikasikan tafsir bi al-ma’tsur tanpa menyertakan sanad-sanadnya sehingga tidak jelas mana riwayat yang sahih dan mana yang ternoda. Dampaknya, pembacanya merasa ragu sebab boleh jadi riwayat itu hanya dibuat-buat dan memang dalam kitab tafsir banyak ditekan riwayat-riwayat palsu itu.Namun alhamdulillah, penelaahan serius yang diletakkan para ulama dapat mengungkap kepalsuan riwayat-riwayat itu.

         Diantara kitab tafsir yang menggunakan “corak” bi al-ma’tsur adalah:
a)    Jami al-bayan fi tafsir al-quran, karya Ath-Thabari (w. 310 H)
b)    Ma’alim At-Tanzil, karya Al-Baghawi (w. 516 H)
c)    Tafsir Al-quran Al-azhim, karya Ibn Katsir (w. 774 H)
d)    Ad-Durr Al-Mantsur fi tafsir bi Al-ma’tsur, karya As-Suyuthi (w. 911 H)
Tafsir bi Ar-ra’yi adalah menafsirkan al-quran dengan ajtihad setelah mufassir bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata arab beserta muatan artinya. Untuk menafsirkan al-quran dengan ijtihad, si mufassir pun dibantu oleh syi’ir Jahiliyyah, ashab an-huzul, nasik-mansukh dan lainnya.

         Diantara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi ar-ra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran,dan pakar-pakar dibidangnya masing-masing. Akibatnya karya tafsir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Diantara mereka ada yang lebih menekankan pada telaah balaqhah, seperti imam az-zamakhsyari, telaah hukum syara, seperti imam al-qurthubi, telaah keistimewaan bahasa, seperti imam an-nafasi, telaah mazhab-mazhab kalam dan filsafat, seperti imam ar-rafi,atau telaah lainnya. Tatkala ada ayt al-quran yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka mengeluarkan semua pengetahuan tentangnya, sampai-sampai terkadang mereka melupakan akal inti ayat tersebut.
         Ada tafsir bi ar-ra’yi yang dapat diterima (maqbul) dengan ada pula yang ditolak (mardud). Tafsir bi ar-ra’yi dapat diterima selama mufassirnya menghindari hal-hal berikut ini.

a.    Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedang dia tidak memenuhi syarat untuk itu.
b.    Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata)
c.Menafsirkan al-quran dengan disertai hawa nafsu dan sikap ihtisan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya)
d.    Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham mazhab tersebut.
e.    Menafsirkan al-quran dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian…tanpa didukung dalil.

   3.   Tafsir Sufistik
         Sebagai dampak kemajuan ilmu dan peradadan islam, muncullah ilmu tasawuf. Pada perkembangan selanjutnya terdapat dua aliran tasawuf yang sangat memahami diskursus penafsiran al-quran yaitu aliran tasawuf teoritis dan aliran tasawuf praktis.

a.    Aliran Tasawuf Teoritis
         Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf, muncul ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-quran dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menakwilkan ayat-ayat al-quran tanpa mengikuti cara-cara yang benar. Mereka pun memberikan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang dikenal dan didukung oleh dalil-dalil syara serta terbukti kebenarannya dilihat dari sudut pandang bahasa.

b.    Aliran Tasawuf Praktis
         Tasawuf praktis maksudnya adalah cara hidup berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Ulama aliran ini memahami karya tafsirnya dengan tafsir isyarat, yakni menakwilkan al-quran dengan dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk.

   4.   Tafsir Fiqih
         Tafsir Fiqih berkembang seiring dengan majunya intensitas ijtihad. Pada awalnya, penafsiran-penafsiran fiqih lepas dari kontaminasi hawa nafsu dan motivasi-motivasi negatif. Hal itu berjalan sampai periode sampai perode munculnya mazhab fiqih yang berbeda-beda. Pada periode munculnya mazhab yang empat dan lainnya, kaum muslimin dihadapkan pada kejadian-kejadian yang tidak pernah terjadi pada generasi sebelumnya sehingga belum ada keputusan hukum mengenainya.

         Di antara kitab-kitab Tafsir Fiqih adalah:
a)    Ahkam Al-Quran, karya Al-Jashshash (w. 370 H).
b)    Ahkam Al-Quran, karya Ibn Al-Arabi (w. 543 H).
c)    Al-Jami li Ahkam Al-Quran, karya Al-Qurthubi (w. 671 H).

5.   Tafsir Falsafi
         Golongan pertama yaitu, mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filsuf tersebut karena menganggapnya bertentangan dengan aqidah dan agama. Mereka bangkit untuk menolak buku-buku itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya dan menjauhkannya dari kaum muslimin. di antara mereka adalah Imam Al-Ghazali dan Al-Fakr Ar-Razi yang di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka yang bertentangan dengan agama, dan dengan Al-Qur’an secara khusus, lalu membatalkannya.

         Golongan kedua justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerimanya sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan antara filsafat dengan agama serta menghilangkan pertentangan antara keduanya, tetapi gagal. Yang mereka capai hanya menengah-nengahi antara keduanya. Sebab, tidak mungkin nash Al-Qur’an mengandung teori-teori filsafat.

         Dari golongan pertama lahirlah kitab Mafatih Al-Ghaib karya Al-Fakhr Ar-Razi (w. 606 H.). Adapun terhadap golongan kedua, Dr. Adz-Dzahabi berkata, “Kami tidak pernah mendengar ada seorang filsuf yang mengagung-agungkan filsafat-yang mengarang satu kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan hanya sebagian pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an yang berpencar-pencar dalam buku-buku filsafaat karangan mereka”.



6.    Tafsir Ilmi
         Al-Qur’an ternyata mendorong pula pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu berpikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena alam. Allah telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniah di samping ayat-ayat qur’aniah.

         Dengan semangat ini, bermunculanlah sebagian mufassir yang menafsirkan ayat-ayat kauniah dengan bertolak dari proporsi pokok bahasa, kapasitas keilmuan yang mereka miliki, dan hasil pengamatan langsung fenomena-fenomena alam. Namun, mereka membatasi diri pada penjelasan ayat per ayat secara parsial tanpa menyertakan ayat-ayat yang memiliki tema serupa.

         Di antara ulama tafsir yang memperdalam tafsir ilmi adalah:
a)    Iman Fakhr Ar-Razi dalam Tafsir Al-Kabir.
b)    Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur’an.
c)    Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan.
         Di zaman modern ini, kita menemukan lebih banyak lagi karya ulama berupa tafsir ilmi.

Pandangan Sebagian Ulama tentang Tafsir Ilmi
         Sikap para ulama kontemporer terhadap tafsir ilmi terbagi dalam dua macam, yaitu menolak dan menerima. Ulama yang menolaknya berpendapat bahwa mengaitkan Al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah merupakan tindakan keliru. Alasannya, Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk menjelaskan teori-teori ilmiah, terminologi-terminologi disiplin lmu, dan macam-macam pengetahuan. Mengaitkan dengan teori-teori ilmiah hanya mendorong para pendukungnya untuk menakwilkan Al-Qur’an agar sesuai dengan teori-teori ilmiah. Hal ini tentu saja akan mereduksi kemukjizatan Al-Qur’an. Seandainya Al-Qur’an dikaitkan dengan temuan-temuan ilmiah, dikhawatirkan justru Al-Qur’an yang disesuaikan dengan temuan-temuan ilmiah itu, bukan sebaliknya.

         Banyak faktor yang melatarbelakangi sikap tidak simpatik para ulama terhadap tafsir ilmi. Di antara faktor yang terpenting dalam pandangan Hanafi Ahmad adalah keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah risalah petunjuk yang tidak harus berkaitan dengan ilmu-ilmu alam. Uraian Al-Qur’an tentang fenomena-fenomena alam tidak kemudian menunjukkan penjelasan tentang ilmu-ilmu alam, tetapi sekadar rangsangan untuk memikirkan dan merenungkan ciptaan-ciptaan Allah.

Pandangan Para Sarjana Muslim tentang Tafsir Ilmu
         Meskipun dihalangi berbagai rintangan, masih ada kelompok sarjana muslim yang menaruh perhatian besar pada tafsir ilmi ini. Mereka mengamati ayat-ayat kauniah dengan cermat dan saksama. Di antara mereka adalah DR. Muhammad Ahmad Al-Ghamrawi. Dalam sebuah karyanya, ia menyajikan misi-misi Al-Qur’an dengan uraian yang sangat menarik. Ia kemukakan pula nash-nash Qur’ani yang berkaitan dengan norma-norma dan kemasyarakatan tanpa pengaruh oleh terminologi disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi dalam kondisi tertentu, terkadang ia kemukakan pula terminologi-terminologi itu.

7.    Tafsir Adabi-Ijtima’i
         Tafsir ini berupaya menyingkap keindahan bahasa Al-Qur’an dan mukjizat-mukjizatnya; menjelaskan makna-makna dan maksud-maksudnya; memperlihatkan aturan-aturan Al-Qur’an tentang kemasyarakatan; dan mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum.



Sejarah tafsir bi al-ra'yi

Tafsir bil-rayi adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu al-qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan -ra’yi: perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Tafsir bil’rayi terbagi menjadi dua bagian: bagian yang pertama disebut Tafsir Mahmud, dan bagian yang kedua disebut, Tafsir Madzmum.
A.   Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.

B.   Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
            Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman :
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: 36)
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS, Al Isra’: 36)

Firman Allah lagi:
قـُلْ إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ٱلْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلإِثـْمَ وَٱلْبَغْيَ بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تـُشْــرِكـُواْ بِٱللّـَهِ مَا لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَن تَقـُولُواْ عَلَى ٱللّـَهِ مَا لاَ تَعْـلَمــُونَ(الأعراف: 33)
Artinya:
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)

Juga sabda Rasulullah saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح
 Artinya:
“ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.

pengertian tafsir bil al-ra’yi serta perbedaannya dengan tafsir isyari
Tafsirbiar-Rayi Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2) Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.

Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazi.
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: tafsir al jalalain (karya jalaluddin muhammad al mahally dan disempurnakan oleh jalaluddin abdur rahman as sayuthi),tafsir al baidhawi, tafsir al fakhrur razy, tafsir
Ada beberapa hadits yang melarang menafsirkan al-Qur’an dengan ro’yi, dimana kata tersebut ditafsirkan dengan pikiran. Akibatnya, sebagian generasi muda Islam tidak mau memahami dan mendengarkan pemahaman al-Qur’an yang dihubungkan dengan pikiran atau ilmu pengetahuan, mereka tidak hanya menjauhkan diri dari tindakan tersebut melainkan juga menganggap sesat orang-orang Islam yang memahami al-Qur’an dengan landasan pikiran, ilmu pengetahuan dan filsafat.

Pada sisi lain, tidak jarang dijumpai, perintah Allah dalam al-Qur’an, agar memahami ayat-ayat Allah dengan akal dan ilmu pengetahuan. Mereka sangat mencintai ilmu pengetahuan, filsafat dalam berbagai bidang untuk memahami al-Qur’an mereka juga memilii pemahaman bahwa pemahaman al-Qur’an tanpa ilmu pengetahuan atau pikiran akan menimbulkan kekeliruan, karena al-Qur’an itu sediri meirupakan informasi ilmu pengetahuan. Generasi muda Islam yang tidak banyak mencurahkan perhatiannya pada bidang tersebut, akan mengalami kebingungan bilamana menerima dua informasi yang sifatnya bertentangan, sedangkan bagi mereka yang menerima satu sisi, akan memegang bendera yang diterimanya.

Perbedaan landasan dalam menggunakan pemikiran dalam memahami al-Qur’an, sebenarnya sudah terjadi dalam masa-masa awal, sesudah Rasulullah SAW meninggal dunia, bagi generasi muda Islam hari ini, perlu sekali membuka diri dan berpikir obyektif dalam menerima pemikiran tersebut, sehingga akan dapat memberikan penilaian secara obyektif.
 Bersama ini disajikan alternatif pembahasan tentang penggunaan akal dan Ra’yi dalam memahami al-Qur’an, barangkali dapat memberikan pemasukan atau tambahan data, sehingga dapat menghilangkan keraguannya. Kesimpulan Dalam menafsirkan Alquran kita tetap mengikuti urut-urutan. Pertama-tama adalah tafsir itu harus kita terjemahkan ayat dengan ayat, mengapa? Karena di dalam Alquran disebutkan bahwa Alquran itu diturunkan yang sifatnya mutasyâbih dan makânî. Itu ada di surah al-Zumar ayat 23. Kalau kita pahami Alquran itu ayat-ayatnya mutasyabih itu artinya, ayat-ayat itu saling terkait antara satu kata atau satu ayat di satu surat, satu kata atau satu ayat di surat yang lainnya. Lalu makânî maksudnya ayat-ayat itu diturunkan selama 23 tahun, dan terjadi pengulangan-pengulangan dan kalau kita pahami sering ayat-ayat itu sering kali diungkapkan beberapa kali. Misalnya kata al-’aql (akal) saja diulang sampai lebih dari 40 kali. Nah, dengan adanya mutasyabih yang saling terkait dan pengulangan ini maka yang pertama adalah mencoba memahami satu ayat dan dicari kaitannya atau relasinya ayat yang lain.

 Setelah itu misalkan kita temukan lalu kita lihat kaitan kata itu dengan kondisi sosial pada waktu itu. Kita lihat misalnya penggunakan kata-kata yang ada pada waktu itu. Lalu kita lihat juga sejarah yang ada waktu itu. Nah setelah itu kita mencoba menyelidiki atau melihat satu ayat itu berdasarkan sejauh mana makna yang diungkapkan dalam ayat atau surat itu. Sebab boleh jadi kata itu bersifat lahiriah tapi yang dituju malah batiniah dan fenomena ini banyak sekali. Misalnya kita ambil contoh, pada surah al-Isra’ ayat 72. Kalau dibaca di sana orang yang membaca itu buta lahiriahnya. Tapi konsekuensinya kalau buta lahiriah akan buta di akhirat. Itu tentu tidak senada dengan ayat-ayat Alquran yang lain.

 Misalnya, orang yang mengeluh, ”Ya Allah kenapa saya di dunia dahulu hidup tidak buta tetapi sekarang saya buta”. Di sinilah mata rantainya lalu jika sudah dilihat semuanya itu apakah ayat yang kita tafsirkan itu sesuai dengan akal pikiran atau tidak. Sebab selama ini orang cenderung mengabaikan akal, padahal kita tidak melanggar pernyataan Allah bahwa kita harus menggunakan akal. Misalnya, ada sumpah Tuhan Tuhan di dalam Alquran, wal-’ashri (demi waktu asar), atau sumpah Tuhan misalnya qiyamah, di sini adalah sumpah padahal kalau kita melihat, mengamati dan memperhatikan apa yang dipakai Tuhan untuk sumpah itu bukan sesuatu yang diluar akal pikiran manusia.
Misalkan kiamat tidak bisa tidak dipelajari maka kita mencoba menyelidiki. Kalau kiamat itu pengertiannya hancurnya alam semesta, ya tidak ada gunanya Tuhan bersumpah. Sebab kalau Tuhan bersumpah itu artinya ada sesuatu yang harus diperhatikan manusia, tidak bisa tidak. Maka kita langsung mencari makna kiamat di situ. Bagaimana ayat-ayat yang berkaitan di dalam sumpah kiamatituapakah memang betul-betul terlepas atau bisa kit kaitkan dengan ilmu pengetahuan .

Makalah Pendidikan Agama dalam Rumah Tangga

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat, kuat, berketerampilan, cerdas, pandai, dan beriman. Bagi orang Islam, beriman itu adalah beriman secara Islam. Dalam taraf yang sederhana, orang tua tidak ingin anaknya lemah, sakit-sakitan, penganggur, bodoh, dan nakal. Pada tingkat yang paling sederhana, orang tua tidak menghendaki anaknya nakal dan menjadi penganggur. Dan terakhir, pada taraf paling minimal ialah jangan nakal. Kenakalan akan menyebabkan orang tua mendapat malu dan kesulitan.
Untuk mencapai tujuan itu, orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama. Kaidah ini ditetapkan secara kodrati; artinya, orang tua tidak dapat berbuat lain, mereka harus menempati posisi itu dalam keadaan bagaianapun juga. Mengapa? Karena mereka ditakdirkan menjadi orang tua anak yang dilahirkannya. Oleh karena itu, mau tidak mau mereka harus menjadi panggungjawab pertama dan utama. Kaidah ini diakui oleh semua agama dan semua sistem nilai yang dikenal manusia.
Sehubungan dengan tugas serta tanggung jawab itu maka ada baiknya orang tua mengetahui sedikit mengenai apa dan bagaimana pendidikan dalam rumah tangga. Pengetahuan itu sekurang-kurangnya dapat menjadi penuntun, rambu-rambu bagi orang tua dalam menjalankan tugasnya.

B.       Permasalahan
1.      Pendidikan Agama dalam Rumah tangga
2.      Mainan Anak-anak
3.      Teman bermain anak
4.      Pergaulan Remaja

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendidikan Agama dalam Rumah tangga
Tatkala kita berbicara tentang metode pendidikan agama di sekolah, salah satu kesimpulan penting ialah bahwa kunci keberhasilan pendidikan agama di sekolah bukan terutama terletak pada metode pendidikan agama yang digunakan dan penguasaan bahan; kunci pendidikan agama di sekolah sebenarnya terletak pada pendidikan agama dalam rumah tangga. Inti pendidikan agama dalam rumah tangga itu ialah hormat kepada Tuhan, kepada orang tua, kepada guru. Nah, di sekolah, hormat kepada guru inilah kuncinya. Bila anak didik tidak hormat kepada guru, berarti ia juga tidak akan menghormati agama. Bila agama Islam dan guru agama tidak dihormati, maka metode pendidikan agama yang baik pun tidak akan ada artinya Itulah yang umumnya terlihat sekarang, terutama di sekolah umum. Oleh karena itu, pendidikan agama dalam rumah tangga sebenarnya (ini betul-betul sebenarnya) tidak boleh terpisah dan pendidikan agama di sekolah; mula-mula adalah pendidikan agama dalam rumah tangga sebagai fondasi, kemudian dilanjutkan di sekolah sebagai pengembangan rinciannya. Berdasarkan itu semua maka di sini dibicarakan prinsip-prinsip pendidikan agama dalam rumah tangga.
Karena memahami pentingnya pembinaan kesejahteraan anak, pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan undang-undang tentang itu pada tahun 1979, bertepatan dengan Tahun Anak Internasional. Undang-undang itu menjadi landasan hukum bagi pembinaan anak Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Hal ini amat penting untuk Indonesia karena sejak semula, dengan pandangan hidup Pancasila, pembangunan Indonesia selalu memandang manusia sebagai titik sentral. Pembangunan itu berawal dan pembinaan anak, dan itu tentulah dalam rumah tangga.
Pengertian kesejahteraan anak dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1979 itu, sebagaimana disebutkan dalam Bab I Pasal 1 (a), ialah sebagai benkut: “Kesejahteraan anak ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik segi rohani, jasmani, dan sosial.’ Jadi, pembinaan itu harus mencakup agama, kesehatan dan gizi, pendidikan, kependudukan, kehidupan berbangsa dan bernegara, ketenagakerjaan, kemampuan dan kesempatan kerja, lingkungan hidup, pangan, kesetiakawanan sosial, cinta tanah air, pertahanan-keamanan, dan lain-lain.” Dengan demikian, pembinaan kesejahteraan anak menyangkut usaha bangsa yang sangat strategis dan mendasar.
Berdasarkan uraian itu maka jelaslah bahwa pembangunan sumber daya manusia, termasuk pembinaan anak, erat sekali kaitannya dengan penumbuhan nilai-nilai seperti takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, jujur, berdisiplin, dan memiliki etos kerja yang tinggi. Hal ini bukanlah merupakan suatu proses sesaat, melainkan suatu proses yang panjang yang harus dimulai sedini mungkin, yaitu sejak masa anak-anak. Itu adalah pendidikan dalam rumah tangga.
Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga. Tuhan memerintahkan agar setiap orang tua menjaga keluarganya dan siksa neraka:
Jagalah dirimu dan keluargarnu dan siksaan neraka”.

Jadi, tanggung jawab itu pertama-tama adalah sebagai suatu kewajiban dari Allah; kewajiban harus dilaksanakan. Kewajiban itu dapat dilaksanakan dengan mudah dan wajar karena orang tua memang mencintai anaknya. lni merupakan sifat manusia yang dibawanya sejak lahir. Manusia mempunyai sifat mencintai anaknya. Ini terlihat dalam surat al-Kahfi
 ãA$yJø9$# tbqãZt6ø9$#ur èpuZƒÎ Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# ( àM»uŠÉ)»t7ø9$#ur àM»ysÎ=»¢Á9$# îŽöyz yZÏã y7În/u $\/#uqrO îŽöyzur WxtBr& ÇÍÏÈ    Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa manusia membawa sifat menyangi harta dan anak-anak. Bila orang tua memang telah mencintai anaknya, maka tentulah ia tidak akan sulit mendidik anaknya. Dalam surat al-Furqan
tûïÏ%©!$#ur šcqä9qà)tƒ $oY­/u ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurør& $oYÏG»­ƒÍhèŒur no§è% &úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur šúüÉ)­FßJù=Ï9 $·B$tBÎ) ÇÐÍÈ  
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Cinta kepada anak telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabatnya. Itu berarti juga pelajaran untuk segenap Muslim.
“Seorang Badui datang kepada Nabi saw. dan bertanya, “Apakah engkau menciumi putra-putri engkau? Kami tidak pernah menciumi anak-anak kami.’ Nabi berkata, Apakah kamu tidak takut bila Allah mencabut kasih sayang dan hatimu? (Al-Bukhari)

Berdasarkan kutipan itu jelaslah bahwa menurut Islam, orang tua wajib mendidik anaknya. Jika Nabi melihat sahabatnya tidak menyayangi anaknya, dia menegurnya dengan keras. Nabi sendiri amat sayang kepada anak-anak.
“Nabi pernah mencium cucunya, Hasan bin Ali. Waktu itu ada Aqra bin Habis al-Tamimi sedang duduk. Ia berkata, “Saya punya anak sepuluh, seorang pun tidak perriah saya cium.” Maka Nabi menoleh kepadanya dan berkata, “Orang yang tidak mengasihi tidak dikasihi.” (Al-Bukhari)

Al-Bukhari meriwayatkan dan Anas bin Malik bahwa telah datang kepada Aisyah seorang ibu bersama dua anaknya yang masih kecil. Aisyah memberian tiga potong kurma kepada wanita itu. Diberilah olehnya anak-anaknya masing-masing satu, dan yang satu lagi untuknya. Kedua kurma itu dimakan anaknya sampai habis, lalu mereka menoleh ke arah ibunya. Sang ibu membelah kurma (bagiannya) menjadi dua, dan diberikannya masing-masing sebelah kepada kedua anaknya. Tiba-tiba Nabi saw. datang, lalu diberi tahu oleh Aisyah tentang itu. Nabi saw. bersabda, “Apakah yang mengherankanmu dan Kejadian itu, sesungguhnya Allah telah mengasihinya berkat kasih sayangnya kepada kedua anaknya.”
Uraian di atas itu menegaskan bahwa (1) wajib bagi orang tua menyelengarakan pedidikan dalam rumah tangganya, dan (2) kewajiban itu wajar (natural) karena Allah menciptakari orang tua yang bersifat mencintai anaknya. Jadi, pertama hukumriya wajib, kedua memang orang tua senang mendidik anak-anaknya. Inilah modal utama bagi pendidikan dalam keluarga.
Cinta kepada anak sering kali menyebabkan orang tua membanggakan anaknya. Perilaku orang tua seperti itu sebenarnya tidak terlalu salah; itu adalah salah satu kewajaran manusia. Jika orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya banyak, maka orang tahu hewan juga banyak anaknya. Jadi, rnembanggakan anak dan segi banyaknya tidak logis.
Hendaknya sadar bahwa membanggakan anak sering juga menjadi penyebab kita dibenci orang. Sebab, kebanyakan orang tidak senang bila kita menceritakan atau memperlihatkan kelebihan kita, lebih-lebih bila kélebihan kita itu dilebih-lebihkan. Dalam surat Saba ayat 35 :
(#qä9$s%ur ß`øtwU çŽsYò2r& ZwºuqøBr& #Y»s9÷rr&ur $tBur ß`øtwU tûüÎ/¤yèßJÎ/ ÇÌÎÈ   
Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan Kami sekali-kali tidak akan diazab.”

Anak sering pula menyebabkan orang lupa kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka sibuk mengurus anak-anaknya. Mereka bekerja mati-matian untuk mencari uang agar semua permintaan anaknya dapat dipenuhi, ya, karena cinta kepada anak. Kadang-kadang permintaan yang tidak masuk akal pun dipenuhi, demi cinta kepada anak. Sayang anak menyebabkan orang korupsi atau mencuri. Semuanya itu menyebabkan orang dapat lupa kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kadang-kadang, karena orang merasa anak-anaknya kuat, cerdas, juara kelas, pemberani, maka orang tua merasa hidupnya akan aman. Oleh karena itu, mereka mulai tidak banyak lagi merasa bergantung pada Allah; lama kelamaan mereka meninggalkan Tuhan. Sering kali orang tua membela anaknya yang jelas-jelas berbuat salah sampai orang tua itu lupa bahwa membela yang salah adalah pelanggaran aturan Allah. Artinya, ia lupa kepada Allah.
Orang tua dapat juga menjadi budak anaknya; ia merasa wajib memenuhi segala keinginan anaknya, seperti dikatakan di atas, sampai Ia kalah oleh anaknya. Kewibawaan orang tua telah hilang; ia dibentak oleh anaknya karena terlambat atau tidak mampu memenuhi permintaan anaknya. Bila ia menyuruh anaknya salat pada pagi hari, ia tidak berani membangunkannya, takut anaknya kaget, atau khawatir anaknya marah. Amar makruf nahi munkar tidak dapat lagi dilakukannya terhadap anaknya, sekalipun kepada orang lain ia mampu. Dalam keadaan seperti itu, orang tua telah lupa kepada Allah karena anaknya. Kesibukan mencari nafkah dapat menyebabkan orang tua lupa mengerjakan ibadah seperti salat dan puasa, bahkan lupa pula bahwa ia wajib jujur. Ayat al-Quran berikut perlu direnungkan kembali oleh kita (orang tua): Surat Saba’: 37
!$tBur ö/ä3ä9ºuqøBr& Iwur /ä.ß»s9÷rr& ÓÉL©9$$Î/ ö/ä3ç/Ìhs)è? $tRyZÏã #s"ø9ã žwÎ) ô`tB z`tB#uä Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ y7Í´¯»s9'ré'sù öNçlm; âä!#ty_ É#÷èÅeÒ9$# $yJÎ/ (#qè=ÏHxå öNèdur Îû ÏM»sùãäóø9$# tbqãZÏB#uä ÇÌÐÈ  
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka Itulah yang memperoleh Balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS.Saba’:37)

Seseorang dikatakan telah melupakan Allah dan Rasul-Nya bila ia lebih mementingkan melakukan sesuatu untuk kepentingan anaknya ketimbang untuk kepentingan menegakkan ajaran Allah. Hendaknya diingat firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 24:
ö@è% bÎ) tb%x. öNä.ät!$t/#uä öNà2ät!$oYö/r&ur öNä3çRºuq÷zÎ)ur ö/ä3ã_ºurør&ur óOä3è?uŽÏ±tãur îAºuqøBr&ur $ydqßJçGøùuŽtIø%$# ×ot»pgÏBur tböqt±øƒrB $ydyŠ$|¡x. ß`Å3»|¡tBur !$ygtRöq|Êös? ¡=ymr& Nà6øs9Î) šÆÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur 7Š$ygÅ_ur Îû ¾Ï&Î#Î7y (#qÝÁ­/uŽtIsù 4Ó®Lym šÎAù'tƒ ª!$# ¾Ín͐öDr'Î/ 3 ª!$#ur Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# šúüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇËÍÈ  
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”


Boleh bangga bila anak kita memang hebat, itu adalah karena cinta pada anak, tetapi jangan berlebihan, cukup di dalam hati saja. Itu wajar. Cinta kepada anak jangan hendaknya menyebabkan lupa kepada Allah; cinta kepada Allah dan Rasulnya harus melebihi cinta kepada apa pun. Jika memang cinta kepada anak, didiklah anak sebaik-baiknya, sedini mungkin.
Orang tua mendidik anaknya karena kewajaran, karena kodratnya; selain itu karena cinta. Mengingat uraian di atas, maka secara sederhana tujuan pendidikan anak di dalam keluarga ialah agar anak itu menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh itulah anak yang wajar dibanggakan. Tujuan lain ialah sebaliknya, yaitu agar anak itu kelak tidak menjadi musuh orang tuanya, yang akan mencelakakan orang tuanya. Anak yang saleh dapat mengangkat nama baik orang tuanya. Anak adalah dekorasi keluarga. Anak yang saleh tentu mendoakan orang tuanya. Bila tidak mendoakan orang tuanya, kesalehannya itu telah cukup merupakan bukti amal baik orang tuanya.
Anak dapat juga menjadi musuh orang tuanya. Itu dapat saja terjadi bila anak tidak dididik dengan benar. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah saw. berkata:
Bukanlah musuhmu orang yang bila kamu bunuh, kamu akan menjadi pemenang; dan kalau kamu terbunuh, kamu akan masuk surga; tetapi musuhmu terkadang adalah anak yang lahir dan tulang rusukmu sendiri. Kemudian musuhmu yang paling berat ialah harta bendamu sendiri.

Anak yang menjadi musuh orang tuanya ialah anak yang durhaka. Anak Seperti ini biasanya tidak mau mendengarkan nasihat orang tuanya. Mungkin ia diam tatkala diberi nasihat, tetapi nasihat itu masuk dan telinga kiri dan keluar dan telinga kanan, tidak ada bekasnya. Ia berani melawan orang tuanya, menyakitinya, bahkan membunuhnya. Dalam surat al-Taghabun ayat 14- 15 Allah berfirman:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä žcÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur #xrßtã öNà6©9 öNèdrâx÷n$$sù 4 bÎ)ur (#qàÿ÷ès? (#qßsxÿóÁs?ur (#rãÏÿøós?ur  cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÍÈ   !$yJ¯RÎ) öNä3ä9ºuqøBr& ö/ä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù 4 ª!$#ur ÿ¼çnyYÏã íô_r& ÒOŠÏàtã
“(14)Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (15)Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Saat memulai pendidikan agama rumah tangga, bila kita bertahan pada perlunya objek (peserta didik) dalam mendidik, maka pendidikan anak mestinya dimulai tatkala anak sudah ada. Anak itulah yang menjadi objek pendidikan tersebut. Akan tetapi, dalam Islam ternyata pendidikan anak harus dimulai jauh sebelum kelahirannya.

B.       Mainan Anak-anak
Bermain adalah keinginan anak secara alamiah. Mainan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kadang-kadang anak-anak lebih mementingkan bermain daripada makan dan minum. Dalam ilmu jiwa, teori tentang mainan ini mendapat perhatian yang cukup luas dan dalam. Ada jenis mainan yang dapat meningkatkan perkembangan intelek (kognitif), ada mainan untuk pembinaan psikomotor, mungkin ada juga mainan yang bermanfaat bagi pembinaan afektif anak. Sampai dewasa pun anak-anak senang bermain; yang berubah ialah jenis mainan yang disenanginya.
Fahmi melaporkan (1979:142) bahwa orang-orang Islam dalam sejarah telah membedakan bermain dengan belajar. Mereka hanya membolehkan anak-anak bermain sesudah selesai belajar. Pandangan ini berbeda dan pandangan modern yang menyatukan bermain dengan belajar, yaitu belajar dalam bentuk permainan. Al-Ghazali (yang dikutip oleh Fahmi, 1979:142) mengatakan bahwa sesungguhnya melarang anak-anak bermain dan memaksanya belajar terus-menerus dapat mematikan hatinya dan menghilangkan kecerdasannya serta menyukarkan hidupnya. Al-Abdari mengikuti pendapat Al-Ghazali tentang ini; ia sangat memperhatikan kebutuhan akan bermain pada anak-anak.
Dalam pendidikan, orang tua hendaknya memperhatikan pula kebutuhan akan bermain ini. Kadang-kadang ibu sangat khawatir bila anak-anaknya bermain-main di luar rumah. Itu benar juga. Akan tetapi, membatasinya terlalu ketat sehingga anak-anak tidak berkesempatan bermain di luar rumah akan berakibat merugikan bagi perkembangan anak. Tentang bermain dan beribadah (salat) memang harus ditegaskan; anak-anak boleh bermain, tetapi mereka harus juga membantu pekerjaan orang tuanya di rumah dan tidak boleh melalaikan kewajibannya terhadap Allah. Kebiasaan ini harus dipentingkan supaya, bila ia sudah besar nanti, mereka terbiasa mendahulukan kewajibannya terhadap Tuhan daripada bermain.
Orang tua sebaiknya mengenal berbagai alat bermain bagi anak-anak. Yang mudah ialah bertanya kepada orang yang ahli. Hendaknya di setiap kota ada konsultan yang membuka praktek (seperti dokter) yang dapat membantu orang tua memberi nasihat mainan apa yang baik untuk anaknya sesuai dengan umur atau tahap perkembangannya. Mainan yang dapat meningkatkan kecerdasan sebaiknya diperhatikan. Secara kejiwaan, mutu suatu mainan terletak pada intensitas kesibukan anak tatkala ia bermain dengan mainan itu. Mainan seperti ini tidak selalu mahal. Anak-anak biasanya merusak mainannya. Ini gejala yang baik. Ia membongkarnya, tetapi tidak mampu memperbaikinya kembali. Itu baik. Karenanya, belilah mainan yang tidak mahal.

C.      Teman bermain anak
Anak-anak memerlukan teman bermain. Itu adalah kebutuhan psikologis. Dalam bermain dengan teman, anak-anak mengembangkan dirinya, misalnya mengembangkan rasa kemasyarakatannya (sosialisasi), berlatih menjadi pemimpin. Dalam bermain, anak dapat menemukan jatidirinya. Dengan berteman, terbentuk rasa solidaritas, pengetahuan tentang lingkungan bertambah, dan lain-lain. Jadi, berteman berarti melakukan hal yang positif. Jadi, berteman itu perlu. Inilah bagian positif dan kegiatan berteman.
Berteman juga memiliki sisi yang negatif. Pengaruh yang buruk diperoleh juga dari berteman, selain pengaruh yang baik seperti dikatakan di atas. Keterangan memberikan petunjuk kepada orang tua agar hati-hati memilihkan teman bermain bagi anaknya. Tidak gampang memilih teman yang  baik bagi anak kita. Sebagai petunjuk umum ialah:
o  Carikan teman yang baik moralnya.
o  Carikan teman yang cerdas (IQ-nya tinggi).
o  Carikan teman yang kuat akidahnya.
Sedapat mungkin teman anak kita bermain memiliki ketiga ciri itu. Yang paling besar pengaruhya ialah teman yang bermoral bejat. Islam dengan ajaran pendidikannya membimbing orang tua dan para pendidik untuk mengawasi dan mengamati sepenuhnya anak-anak mereka, lebih-lebih pada masa usia remaja dan pubertas. Mereka seharusnya mengetahui dengan siapa anaknya berteman, ke mana mereka pergi, dan apa tujuan mereka. Kepada anak-anak kita, kita mesti mengingatkan agar mereka selalu mencari teman yang baik, cerdas, sopan santun, jujur, hemat, rajin belajar, dan memiliki sifat-sifat luhur lainnya. Inilah terjemahan ayat al-Quran yang membimbing orang Islam dalam hal memilih teman:
tPöqtƒur Ùyètƒ ãNÏ9$©à9$# 4n?tã Ïm÷ƒytƒ ãAqà)tƒ ÓÍ_tFøn=»tƒ ßNõsƒªB$# yìtB ÉAqߧ9$# WxÎ6y ÇËÐÈ   4ÓtLn=÷ƒuq»tƒ ÓÍ_tFøs9 óOs9 õσªBr& $ºRŸxèù WxŠÎ=yz ÇËÑÈ   ôs)©9 ÓÍ_¯=|Êr& Ç`tã ̍ò2Ïe%!$# y÷èt/ øŒÎ) ÎTuä!$y_ 3 šc%Ÿ2ur ß`»sÜø¤±9$# Ç`»|¡SM~Ï9 Zwräs{ ÇËÒÈ  
(27)Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul". (28)Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). (29)Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.

Al-Quran surat al-Zukhruf ayat 67 menyatakan:
âäHxÅzF{$# ¥Í´tBöqtƒ óOßgàÒ÷èt/ CÙ÷èt7Ï9 <rßtã žwÎ) šúüÉ)­FßJø9$# ÇÏÐÈ 
“Teman-teman akrab pada han itu sebagian menjadi musuh terhadap yang lain kecuali orang-orang yang takwa.”

Betapa besar pengaruh teman tergambar dalam sabda Rasulullah saw. yang artinya:
Seseorang itu berdasarkan agama temannya. Oleh karena itu, hendaklah kalian memperhatikan siapa temannya.” (Lihat Ulwan, I, 1990:116).

Hadis lain yang dikutip oleh Ulwan (I, 1990:116) ialah sebagai berkut:
Perumpamaan teman yang saleh dengan teman yang jahat seperti tukang minyak kesturi dengan tukang las. Tukang kesturi memberimu yang baik atau kamu membeli darinya, maka kamu akan mendapat bau yang wangi. Sebaliknya, tukang las adakalanya akan membakar bajumu, atau setidak-tidaknya kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.”

Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Asakir adalah sebagai berikut:
“Hindari teman yang jahat karena sesungguhnya kamu akan dikenal seperti dia.”

D.      Pergaulan Remaja
Pergaulan remaja adalah pergaulan yang tidak bisa dianggap enteng oleh orang tua karena dalam masa pubertas dan masa transisinya anak dominan jadi anak yang pembantah, suka jalan-jalan, nongkrong sama teman sebayanya, disinilah peran orang tua dimaksimalkan karena tanpa bimbingan dan pengawasan orang tua anak akan salah memilih teman dan menjadi anak yang tidak bermoral yang akhirnya akan bermuara pada pergaulan bebas, seks bebas dll.
Salah satu faktor yang sering mengganggu perkembangan anak dan remaja ialah tidak dimanfaatkannya waktu luang secara tepat. Sejak permulaan perkembangannya, anak-anak gemar bermain, bercanda, berekreasi, menikrnati pemandangan yang tidak ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah gejala kejiwaan yang normal. Begitu senangnya anak-anak itu bersantai sampai-sampai pada saat belajar pun mereka sering bermain dengan ternannya, atau membuat suasana belajar terasa santai.
Itulah sebabnya orang tua sebaiknya memanfaatkan waktu luang anak-anaknya dengan mengisinya dengan kegiatan yang bersifat rekreasi atau santai. Libur panjang ada baiknya diisi dengan mengikuti kegiatan yang bermanfaat, tetapi ada unsur rekreasinya, seperti berkunjung ke rumah teman di desa, pergi ke gunung, atau mengikuti pesantren kilat. Adapun libur pendek, seperti han Minggu, cukup diisi dengan santai di rumah, bergotong-royong membersihkan rumah dan pekarangan, atau memasak makanan dengan melibatkan seluruh anggota keluarga seperti membuat rujak atau minuman. Pokoknya, kegiatan di rumah yang ada unsur rekreasi dan santai di dalamnya.
Yang harus diperhatikan ialah unsur kewajiban menjaga ibadah dan akhlak jangan sampai terganggu karena melakukan kegiatan mengisi waktu luang tersebut. Oleh karena itu, orang tua harus tahu persis dengan siapa anaknya pergi, ke mana, apa saja acaranya. Sering kali ternyata waktu luang diisi oleh para remaja dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang negatif.
Islam tidak memberikan ajaran yang rinci tentang mengisi waktu luang. Islam hanya memberikan patokan-patokan yang bersifat umum sebagaimana tergambar dalam dalil-dalil naqli berikut. Pertama, perintah Allah tentang memperhatikan alam. Ini banyak sekali seperti dalam surat Fathir:44 dan alNahl:36. Kedua, sabda Rasul agar memanfaatkan masa muda:
“Pergunakanlah yang lima sebelum datang yang lima: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, kayamu sebelum datang masa fakirmu.” (Riwayat Hakim dan Baihaqi)

Sebagian besar waktu yang digunakan oleh anak-anak kita ialah tinggal di rurnah; tatkala remaja memang mereka agak banyak berada di luar rumah. Karena anak-anak itu banyak tinggal di rumah, maka situasi rumah tangga banyak sekali mempengaruhi mereka. Bila Setiap kali anak membuka matanya yang dilihatnya adalah pertengkaran, ia akan segera meninggalkan rumah; rumah itu dirasakannya pengap, sempit dan panas. Ia pergi ke rumah orang lain untuk mencari teman bermain dan berteduh. Sekiranya teman-ternannya itu kurang baik, hal tersebut akan mempengaruhi perangai anak itu.
Untuk memperoleh rumah tangga yang tenteram, Islam mengajarkan suatu tata cara yang dimulai dan tahap memilih calon suami-istri, cara melamar, memberikan petunjuk cara berumah tangga yang mencakup tugas suami dan tugas istri.
Cekcok ayah-ibu tidak sekadar membuat gelisah anak-anak; cekcok itu juga menimbulkan dampak psikologis yang buruk pada anak-anak. Mereka merasa kurang aman karena pelindungnya ternyata tidak akur. Mereka mengidolakan ayah-ibunya, tetapi ternyata idola itu tidak harmonis. Mereka ingin belajar pada ayah-ibunya, tetapi apa yang akan didapat bila ayah-ibu itu cekcok melulu. Mereka malu pada teman-temannya bila ketahuan ayah-ibunya terlalu banyak “berdiskusi. Rasa rendah diri, rasa malu, rasa tidak berharga, dan lain-lain dapat saja menghinggapi anak tersebut.
Kadang-kadang cekcok berakhir dengan perceraian. Al-Quran memang mengatur hal ini tetapi bukan berarti menganjurkan perceraian. Perceraian itu “menggegerkan”‘arasy Tuhan. Ia merupakan pebuatan yang boleh, tetapi paling dibenci Tuhan. Anak-anak pun amat tidak menyenangi ayah-ibunya bercerai.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pendidikan Agama dalam rumah tangga sangat-sangatlah penting bagi perkembangan akhlak manusia karena orang tualah yang pertama kali menggoreskan warna pada anak, orang tua adalah guru yang pertama dan pertama bagi anak-anaknya.

B.       Saran
Saran kami sebagai mahasiswa yang berlandaskan Agama, bagi tema-teman mahasiswa tanamkanlah dalam diri anda ketika anda menjadi orang tua kelak anda akan mendidika anak anda dengan penanaman agama sejak dini dan bagi para dosen yang sudah terlanjur memiliki anak dan tidak sempat mendidik anak dari kecil maka anda belum terlambat, lakukanlah apa yang seharusnya dilakukan agar kita bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak kita di dunia dan akhirat.
Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat bagi teman-teman mahasiswa/ para calon orang tua besrta dosen.