Sabtu, 21 Mei 2011

Sejarah tafsir bi al-ra'yi

Tafsir bil-rayi adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu al-qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan -ra’yi: perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Tafsir bil’rayi terbagi menjadi dua bagian: bagian yang pertama disebut Tafsir Mahmud, dan bagian yang kedua disebut, Tafsir Madzmum.
A.   Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.

B.   Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
            Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman :
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: 36)
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS, Al Isra’: 36)

Firman Allah lagi:
قـُلْ إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ٱلْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلإِثـْمَ وَٱلْبَغْيَ بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تـُشْــرِكـُواْ بِٱللّـَهِ مَا لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَن تَقـُولُواْ عَلَى ٱللّـَهِ مَا لاَ تَعْـلَمــُونَ(الأعراف: 33)
Artinya:
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)

Juga sabda Rasulullah saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح
 Artinya:
“ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.

pengertian tafsir bil al-ra’yi serta perbedaannya dengan tafsir isyari
Tafsirbiar-Rayi Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2) Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.

Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazi.
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: tafsir al jalalain (karya jalaluddin muhammad al mahally dan disempurnakan oleh jalaluddin abdur rahman as sayuthi),tafsir al baidhawi, tafsir al fakhrur razy, tafsir
Ada beberapa hadits yang melarang menafsirkan al-Qur’an dengan ro’yi, dimana kata tersebut ditafsirkan dengan pikiran. Akibatnya, sebagian generasi muda Islam tidak mau memahami dan mendengarkan pemahaman al-Qur’an yang dihubungkan dengan pikiran atau ilmu pengetahuan, mereka tidak hanya menjauhkan diri dari tindakan tersebut melainkan juga menganggap sesat orang-orang Islam yang memahami al-Qur’an dengan landasan pikiran, ilmu pengetahuan dan filsafat.

Pada sisi lain, tidak jarang dijumpai, perintah Allah dalam al-Qur’an, agar memahami ayat-ayat Allah dengan akal dan ilmu pengetahuan. Mereka sangat mencintai ilmu pengetahuan, filsafat dalam berbagai bidang untuk memahami al-Qur’an mereka juga memilii pemahaman bahwa pemahaman al-Qur’an tanpa ilmu pengetahuan atau pikiran akan menimbulkan kekeliruan, karena al-Qur’an itu sediri meirupakan informasi ilmu pengetahuan. Generasi muda Islam yang tidak banyak mencurahkan perhatiannya pada bidang tersebut, akan mengalami kebingungan bilamana menerima dua informasi yang sifatnya bertentangan, sedangkan bagi mereka yang menerima satu sisi, akan memegang bendera yang diterimanya.

Perbedaan landasan dalam menggunakan pemikiran dalam memahami al-Qur’an, sebenarnya sudah terjadi dalam masa-masa awal, sesudah Rasulullah SAW meninggal dunia, bagi generasi muda Islam hari ini, perlu sekali membuka diri dan berpikir obyektif dalam menerima pemikiran tersebut, sehingga akan dapat memberikan penilaian secara obyektif.
 Bersama ini disajikan alternatif pembahasan tentang penggunaan akal dan Ra’yi dalam memahami al-Qur’an, barangkali dapat memberikan pemasukan atau tambahan data, sehingga dapat menghilangkan keraguannya. Kesimpulan Dalam menafsirkan Alquran kita tetap mengikuti urut-urutan. Pertama-tama adalah tafsir itu harus kita terjemahkan ayat dengan ayat, mengapa? Karena di dalam Alquran disebutkan bahwa Alquran itu diturunkan yang sifatnya mutasyâbih dan makânî. Itu ada di surah al-Zumar ayat 23. Kalau kita pahami Alquran itu ayat-ayatnya mutasyabih itu artinya, ayat-ayat itu saling terkait antara satu kata atau satu ayat di satu surat, satu kata atau satu ayat di surat yang lainnya. Lalu makânî maksudnya ayat-ayat itu diturunkan selama 23 tahun, dan terjadi pengulangan-pengulangan dan kalau kita pahami sering ayat-ayat itu sering kali diungkapkan beberapa kali. Misalnya kata al-’aql (akal) saja diulang sampai lebih dari 40 kali. Nah, dengan adanya mutasyabih yang saling terkait dan pengulangan ini maka yang pertama adalah mencoba memahami satu ayat dan dicari kaitannya atau relasinya ayat yang lain.

 Setelah itu misalkan kita temukan lalu kita lihat kaitan kata itu dengan kondisi sosial pada waktu itu. Kita lihat misalnya penggunakan kata-kata yang ada pada waktu itu. Lalu kita lihat juga sejarah yang ada waktu itu. Nah setelah itu kita mencoba menyelidiki atau melihat satu ayat itu berdasarkan sejauh mana makna yang diungkapkan dalam ayat atau surat itu. Sebab boleh jadi kata itu bersifat lahiriah tapi yang dituju malah batiniah dan fenomena ini banyak sekali. Misalnya kita ambil contoh, pada surah al-Isra’ ayat 72. Kalau dibaca di sana orang yang membaca itu buta lahiriahnya. Tapi konsekuensinya kalau buta lahiriah akan buta di akhirat. Itu tentu tidak senada dengan ayat-ayat Alquran yang lain.

 Misalnya, orang yang mengeluh, ”Ya Allah kenapa saya di dunia dahulu hidup tidak buta tetapi sekarang saya buta”. Di sinilah mata rantainya lalu jika sudah dilihat semuanya itu apakah ayat yang kita tafsirkan itu sesuai dengan akal pikiran atau tidak. Sebab selama ini orang cenderung mengabaikan akal, padahal kita tidak melanggar pernyataan Allah bahwa kita harus menggunakan akal. Misalnya, ada sumpah Tuhan Tuhan di dalam Alquran, wal-’ashri (demi waktu asar), atau sumpah Tuhan misalnya qiyamah, di sini adalah sumpah padahal kalau kita melihat, mengamati dan memperhatikan apa yang dipakai Tuhan untuk sumpah itu bukan sesuatu yang diluar akal pikiran manusia.
Misalkan kiamat tidak bisa tidak dipelajari maka kita mencoba menyelidiki. Kalau kiamat itu pengertiannya hancurnya alam semesta, ya tidak ada gunanya Tuhan bersumpah. Sebab kalau Tuhan bersumpah itu artinya ada sesuatu yang harus diperhatikan manusia, tidak bisa tidak. Maka kita langsung mencari makna kiamat di situ. Bagaimana ayat-ayat yang berkaitan di dalam sumpah kiamatituapakah memang betul-betul terlepas atau bisa kit kaitkan dengan ilmu pengetahuan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar