Sabtu, 21 Mei 2011

Tafsir tahlili


Metode tahlili adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar  penisah (munassabat) sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al-munassabat) dengan bantuan asbab An-Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Prosedur ini di lakukan dengan mengikuti susunan mushab, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang manyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi SAW sampai tabi’in, terkadang diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukkan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia.

         Para mufasir tidak seragam dalam mengoprasionalkan metode ini. Ada yang menguraikan secara ringkas dan ada pula yang menguraikan secara terperinci, Macam-macam tafsir di bawah ini menunjukkan keragaman itu:

1.    Tafsir bi Al-Ma’tsur              
2.    Tafsir bi Al-Ra’yi
3.    Tafsir Ash-Shufi
4.    Tafsir Al-Fiqhi
5.    Tafsir Al-Falsafi
6.    Tafsir Al-ilmi
7.    Tafsir Al-adabi Al-ijtimma
 Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah penjelasan Al-Qur’an sendiri dari Rasulullah SAW. yang disampaikan kepada para sahabat, dari para sahabat berdasarkan ijtihadnya, dan dari para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya.

         Tafsir bi Al-Ma’tsur melaui dua fase:
Pertama, fase periwayatan dengan lisan (syafahiyah). Pada fase ini, para sahabat menuqil riwayat penafsiran dari nabi dan menyampaikannya kepada sahabat lainnya. Para tabi’in menuqil riwayat dari para sahabat dengan metode penuqilan berupa sanad yang teliti dan saksama. Fase ini berakhir dengan datangnya fase kedua.
         kedua, fase pengodifikasian. Pada fase ini, riwayat-riwayat penafsiran yang disebarkan pada fase pertama mulai dibukukan. Sejak itu ditulislah kitab “tafsir yang memuat tafsir bi al ma’tsur. Disertakan bersama tafsir tersebut sanad yang sampai pada rasulullah SAW, sahabat, tabi’in, bi al-ma’tsur yang ada, tafsir ath-thabarilah yang paling baik sebab menuturkan banyak pendapat penafsiran lalu menyeleksinya.

         Setelah itu datanglah sekelompok mufassir yang mengodifikasikan tafsir bi al-ma’tsur tanpa menyertakan sanad-sanadnya sehingga tidak jelas mana riwayat yang sahih dan mana yang ternoda. Dampaknya, pembacanya merasa ragu sebab boleh jadi riwayat itu hanya dibuat-buat dan memang dalam kitab tafsir banyak ditekan riwayat-riwayat palsu itu.Namun alhamdulillah, penelaahan serius yang diletakkan para ulama dapat mengungkap kepalsuan riwayat-riwayat itu.

         Diantara kitab tafsir yang menggunakan “corak” bi al-ma’tsur adalah:
a)    Jami al-bayan fi tafsir al-quran, karya Ath-Thabari (w. 310 H)
b)    Ma’alim At-Tanzil, karya Al-Baghawi (w. 516 H)
c)    Tafsir Al-quran Al-azhim, karya Ibn Katsir (w. 774 H)
d)    Ad-Durr Al-Mantsur fi tafsir bi Al-ma’tsur, karya As-Suyuthi (w. 911 H)
Tafsir bi Ar-ra’yi adalah menafsirkan al-quran dengan ajtihad setelah mufassir bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata arab beserta muatan artinya. Untuk menafsirkan al-quran dengan ijtihad, si mufassir pun dibantu oleh syi’ir Jahiliyyah, ashab an-huzul, nasik-mansukh dan lainnya.

         Diantara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi ar-ra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran,dan pakar-pakar dibidangnya masing-masing. Akibatnya karya tafsir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Diantara mereka ada yang lebih menekankan pada telaah balaqhah, seperti imam az-zamakhsyari, telaah hukum syara, seperti imam al-qurthubi, telaah keistimewaan bahasa, seperti imam an-nafasi, telaah mazhab-mazhab kalam dan filsafat, seperti imam ar-rafi,atau telaah lainnya. Tatkala ada ayt al-quran yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka mengeluarkan semua pengetahuan tentangnya, sampai-sampai terkadang mereka melupakan akal inti ayat tersebut.
         Ada tafsir bi ar-ra’yi yang dapat diterima (maqbul) dengan ada pula yang ditolak (mardud). Tafsir bi ar-ra’yi dapat diterima selama mufassirnya menghindari hal-hal berikut ini.

a.    Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedang dia tidak memenuhi syarat untuk itu.
b.    Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata)
c.Menafsirkan al-quran dengan disertai hawa nafsu dan sikap ihtisan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya)
d.    Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham mazhab tersebut.
e.    Menafsirkan al-quran dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian…tanpa didukung dalil.

   3.   Tafsir Sufistik
         Sebagai dampak kemajuan ilmu dan peradadan islam, muncullah ilmu tasawuf. Pada perkembangan selanjutnya terdapat dua aliran tasawuf yang sangat memahami diskursus penafsiran al-quran yaitu aliran tasawuf teoritis dan aliran tasawuf praktis.

a.    Aliran Tasawuf Teoritis
         Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf, muncul ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-quran dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menakwilkan ayat-ayat al-quran tanpa mengikuti cara-cara yang benar. Mereka pun memberikan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang dikenal dan didukung oleh dalil-dalil syara serta terbukti kebenarannya dilihat dari sudut pandang bahasa.

b.    Aliran Tasawuf Praktis
         Tasawuf praktis maksudnya adalah cara hidup berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Ulama aliran ini memahami karya tafsirnya dengan tafsir isyarat, yakni menakwilkan al-quran dengan dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk.

   4.   Tafsir Fiqih
         Tafsir Fiqih berkembang seiring dengan majunya intensitas ijtihad. Pada awalnya, penafsiran-penafsiran fiqih lepas dari kontaminasi hawa nafsu dan motivasi-motivasi negatif. Hal itu berjalan sampai periode sampai perode munculnya mazhab fiqih yang berbeda-beda. Pada periode munculnya mazhab yang empat dan lainnya, kaum muslimin dihadapkan pada kejadian-kejadian yang tidak pernah terjadi pada generasi sebelumnya sehingga belum ada keputusan hukum mengenainya.

         Di antara kitab-kitab Tafsir Fiqih adalah:
a)    Ahkam Al-Quran, karya Al-Jashshash (w. 370 H).
b)    Ahkam Al-Quran, karya Ibn Al-Arabi (w. 543 H).
c)    Al-Jami li Ahkam Al-Quran, karya Al-Qurthubi (w. 671 H).

5.   Tafsir Falsafi
         Golongan pertama yaitu, mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filsuf tersebut karena menganggapnya bertentangan dengan aqidah dan agama. Mereka bangkit untuk menolak buku-buku itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya dan menjauhkannya dari kaum muslimin. di antara mereka adalah Imam Al-Ghazali dan Al-Fakr Ar-Razi yang di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka yang bertentangan dengan agama, dan dengan Al-Qur’an secara khusus, lalu membatalkannya.

         Golongan kedua justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerimanya sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan antara filsafat dengan agama serta menghilangkan pertentangan antara keduanya, tetapi gagal. Yang mereka capai hanya menengah-nengahi antara keduanya. Sebab, tidak mungkin nash Al-Qur’an mengandung teori-teori filsafat.

         Dari golongan pertama lahirlah kitab Mafatih Al-Ghaib karya Al-Fakhr Ar-Razi (w. 606 H.). Adapun terhadap golongan kedua, Dr. Adz-Dzahabi berkata, “Kami tidak pernah mendengar ada seorang filsuf yang mengagung-agungkan filsafat-yang mengarang satu kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan hanya sebagian pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an yang berpencar-pencar dalam buku-buku filsafaat karangan mereka”.



6.    Tafsir Ilmi
         Al-Qur’an ternyata mendorong pula pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu berpikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena alam. Allah telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniah di samping ayat-ayat qur’aniah.

         Dengan semangat ini, bermunculanlah sebagian mufassir yang menafsirkan ayat-ayat kauniah dengan bertolak dari proporsi pokok bahasa, kapasitas keilmuan yang mereka miliki, dan hasil pengamatan langsung fenomena-fenomena alam. Namun, mereka membatasi diri pada penjelasan ayat per ayat secara parsial tanpa menyertakan ayat-ayat yang memiliki tema serupa.

         Di antara ulama tafsir yang memperdalam tafsir ilmi adalah:
a)    Iman Fakhr Ar-Razi dalam Tafsir Al-Kabir.
b)    Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur’an.
c)    Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan.
         Di zaman modern ini, kita menemukan lebih banyak lagi karya ulama berupa tafsir ilmi.

Pandangan Sebagian Ulama tentang Tafsir Ilmi
         Sikap para ulama kontemporer terhadap tafsir ilmi terbagi dalam dua macam, yaitu menolak dan menerima. Ulama yang menolaknya berpendapat bahwa mengaitkan Al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah merupakan tindakan keliru. Alasannya, Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk menjelaskan teori-teori ilmiah, terminologi-terminologi disiplin lmu, dan macam-macam pengetahuan. Mengaitkan dengan teori-teori ilmiah hanya mendorong para pendukungnya untuk menakwilkan Al-Qur’an agar sesuai dengan teori-teori ilmiah. Hal ini tentu saja akan mereduksi kemukjizatan Al-Qur’an. Seandainya Al-Qur’an dikaitkan dengan temuan-temuan ilmiah, dikhawatirkan justru Al-Qur’an yang disesuaikan dengan temuan-temuan ilmiah itu, bukan sebaliknya.

         Banyak faktor yang melatarbelakangi sikap tidak simpatik para ulama terhadap tafsir ilmi. Di antara faktor yang terpenting dalam pandangan Hanafi Ahmad adalah keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah risalah petunjuk yang tidak harus berkaitan dengan ilmu-ilmu alam. Uraian Al-Qur’an tentang fenomena-fenomena alam tidak kemudian menunjukkan penjelasan tentang ilmu-ilmu alam, tetapi sekadar rangsangan untuk memikirkan dan merenungkan ciptaan-ciptaan Allah.

Pandangan Para Sarjana Muslim tentang Tafsir Ilmu
         Meskipun dihalangi berbagai rintangan, masih ada kelompok sarjana muslim yang menaruh perhatian besar pada tafsir ilmi ini. Mereka mengamati ayat-ayat kauniah dengan cermat dan saksama. Di antara mereka adalah DR. Muhammad Ahmad Al-Ghamrawi. Dalam sebuah karyanya, ia menyajikan misi-misi Al-Qur’an dengan uraian yang sangat menarik. Ia kemukakan pula nash-nash Qur’ani yang berkaitan dengan norma-norma dan kemasyarakatan tanpa pengaruh oleh terminologi disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi dalam kondisi tertentu, terkadang ia kemukakan pula terminologi-terminologi itu.

7.    Tafsir Adabi-Ijtima’i
         Tafsir ini berupaya menyingkap keindahan bahasa Al-Qur’an dan mukjizat-mukjizatnya; menjelaskan makna-makna dan maksud-maksudnya; memperlihatkan aturan-aturan Al-Qur’an tentang kemasyarakatan; dan mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar